Salah satu tujuan pembangunan
nasional Indonesia adalah untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia,
baik material maupun spiritual yaitu dengan ketersedianya kebutuhan pokok;
sandang (pakaian), pangan (makanan) dan papan (perumahan) yang layak. Negara
dengan segenap perangkatnya berkewajiban menyelenggarakan tercapainya kehidupan
rakyatnya dengan Iayak atau sejahtera lahir dan batin. Pasal 27 ayat (2) UUD
1945 menegaskan bahwa “tiap-tiap warna Negara berhak untuk memperoleh hidup
yang Iayak bagi kemanusiaan”. Untuk memperoleh hidup yang layak bagi
kemanusiaan itu dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kecerdasan, perlu
penyediaan barang dan jasa dalam jumlah yang cukup, kualitas sesuai standar
dengan harga yang terjangkau masyarakat sebagai pihak konsumen pada umumnya. Kenyataan menunjukkan bahwa di Indonesia telah tumbuh dan
berkembang banyak industri barang dan jasa, baik yang berskala besar, menengah
maupun kecil, di satu pihak, laju pertumbuhan dan perkembangan industri barang
dan jasa membawa dampak positif, antara lain tersedianya kebutuhan dalam jumlah
yang mencukupi, mutunya Iebih baik serta adanya alternatif pilihan bagi
konsumen.
Akan
tetapi, di lain pihak juga terdapat dampak negatif, yaitu dampak dari
perkembangan teknologi, informasi dan informatika pada penyelahgunaan teknologi
itu sendiri, serta pelaku bisnis/pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab
karena makin ketatnya persaingan, sehingga menjadi beban bagi masyarakat
konsumen bahkan alam atau lingkungan yang tidak menguntungkan. Ketatnya
persaingan dapat mengubah perilaku kearah persaingan yang tidak sehat karena
para pelaku usaha memiliki kepentingan yang saling berbenturan diantara mereka.
Persaingan yang tidak sehat ini pada gilirannya dapat merugikan konsumen. Prasasto
Sudjatmiko menegaskan empat contoh yang mempengaruhi perilaku bisnis menjadi
tidak sehat yaitu:
- · Konglomerasi
- · Kartel/Trust
- · Insider Trading
- · persaingan tidak sehat/curang.
Dan sekurang-kurangnya ada empat
bentuk perbuatan yang lahir sebagai akibat dan tidak sehatnya praktek bisnis
seperti diatas, yaitu :
- menaikkan harga
- menurunkan harga
- menurunkan mutu, dumping
- memalsukan produk, dll
Dengan pemahaman bahwa semua
masyarakat adalah konsumen, maka melindungi konsumen berarti juga melindungi
seluruh masyarakat. Oleh karena itu, sesuai dengan amanat Alinea IV Pembukaan
UUD 1945, maka perlindungan konsumen menjadi penting dengan demikian
sekurang-kurangnya ada empat alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi,
yaitu:
- . Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut Pembukaan UUD 1945.
- 2 untuk menghindarkan konsumen dan dampak negatif penggunaan teknologi, sehingga dapat melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan.
- 3. untuk menjaga keseimbangan pembangunan nasional
- 4. guna menjamin sumber daya pembangunan yang bersumber dan masyarakat konsumen.
Arus
globalisasi dan perdagangan bebas karena kemajuan teknologi dan informasi telah
mendorong ruang gerak arus transaksi barang/jasa melintasi wilayah negara
(barang dan dalam negeri dan atau luar negeri) konsumen mempunyai kebebasan
memilih, menggunakan kualitas barang/jasa sebagaimana yang diinginkan.
Fenomena tersebut dapat berakibat kepada pelaku usaha dan konsumen tidak porpasional/tidak seimbang, konsumen pada posisi lemah, bahkan menjadi objek aktifitas bisnis guna meraup keuntungan yang sebesar - besarnya dengan segala cara bahkan dengan cara-cara yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, misalnya: kiat-kiat dalam promosi, cara penjualan dan dengan tidak menerapkan perjanjian standar, dimana hal tersebut didasari atau tidak akan merugikan konsumen pada beberapa aspek. Adapun kelemahan-kelemahan konsumen adalah karena beberapa faktor antara lain : kesadaran akan haknya masih relatif rendah pendidikannya, sehingga undang-undang dijadikan sebagai landasan hukum bagi swadaya masyarakat untuk melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Sebagai person atau kelompok dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen secara universal. Pada saat tertentu dalam posisi yang lemah dan tidak aman seorang konsumen dapat menjadi korban sebagai akibat baik dan unsur kelalaian atau bahkan kesengajaan dan pihak pelaku usaha untuk berkompetitif namun tidak sehat. Maka diperlukan suatu perangkat perlindungan hukum yang bersifat universal sehingga mendapatkan kedudukan hukum yang proporsional atau hak dan kewajibannya antara konsumen dengan pelaku usaha.
Fenomena tersebut dapat berakibat kepada pelaku usaha dan konsumen tidak porpasional/tidak seimbang, konsumen pada posisi lemah, bahkan menjadi objek aktifitas bisnis guna meraup keuntungan yang sebesar - besarnya dengan segala cara bahkan dengan cara-cara yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, misalnya: kiat-kiat dalam promosi, cara penjualan dan dengan tidak menerapkan perjanjian standar, dimana hal tersebut didasari atau tidak akan merugikan konsumen pada beberapa aspek. Adapun kelemahan-kelemahan konsumen adalah karena beberapa faktor antara lain : kesadaran akan haknya masih relatif rendah pendidikannya, sehingga undang-undang dijadikan sebagai landasan hukum bagi swadaya masyarakat untuk melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Sebagai person atau kelompok dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen secara universal. Pada saat tertentu dalam posisi yang lemah dan tidak aman seorang konsumen dapat menjadi korban sebagai akibat baik dan unsur kelalaian atau bahkan kesengajaan dan pihak pelaku usaha untuk berkompetitif namun tidak sehat. Maka diperlukan suatu perangkat perlindungan hukum yang bersifat universal sehingga mendapatkan kedudukan hukum yang proporsional atau hak dan kewajibannya antara konsumen dengan pelaku usaha.
Dengan
timbulnya berbagai permasalahan dan hubungan antara pelaku usaha dengan warga
masyarakat selaku konsumen, maka dibuatlah undang-undang yang mengatur tentang
itu semua, dan semua tertuang dala UU No 8 Tahun 1999. Bagaimanakah aspek perlindungan
hukum dalam pelaksanaan perlindungan konsumen yang tertuang dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Beberapa aspek hukum yang terkait
dengan perlindungan konsumen antara lain:
a. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961
tentang Ketetapan Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1931 tentang
barang.
b. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966
tentang Hygiene.
c. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1982
tentang Metrologi Legal.
d. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982
tentang wajib daftar perusahaan.
e. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1982
tentang Perindustrian.
f. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1985
tentang Ketenagalistrikan.
g. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
h. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992
tentang Perasuransian.
i.
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
j.
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan hidup.
k. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan konsumen.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang perlindungan konsumen terdiri dan 15 bab dan 65 Pasal, sesuai kerangka
sebagai berikut:
Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1).
Bab II Asas dan Tujuan (Pasal 2 dan 3).
Bab III Hak dan Kewajiban (Pasal 4 s.d 7).
Bab IV Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha (Pasal 8 s.d 17).
Bab V Ketentuan pencantuman klausa baku (Pasal 18).
Bab VI Tanggung jawab pelaku usaha (Pasal 19 s.d28).
Bab VII Pembinaan dan Pengawasan (Pasal 29 dan 30).
Bab VIII Badan Perlindungan Konsumen Nasional (Pasal 31 s.d 43).
Bab IX Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (Pasal 44).
Bab X Penyelesaian sengketa (Pasal 45 s.d 48).
Bab XI Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Pasal 49 s.d 58).
Bab XII Penyidikan (Pasal 59).
Bab XIII Sanksi (Pasal 60 s.d 63).
Bab XIV Ketentuan peralihan (Pasal 64).
Bab XV Ketentuan penutup (Pasal 65)
Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1).
Bab II Asas dan Tujuan (Pasal 2 dan 3).
Bab III Hak dan Kewajiban (Pasal 4 s.d 7).
Bab IV Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha (Pasal 8 s.d 17).
Bab V Ketentuan pencantuman klausa baku (Pasal 18).
Bab VI Tanggung jawab pelaku usaha (Pasal 19 s.d28).
Bab VII Pembinaan dan Pengawasan (Pasal 29 dan 30).
Bab VIII Badan Perlindungan Konsumen Nasional (Pasal 31 s.d 43).
Bab IX Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (Pasal 44).
Bab X Penyelesaian sengketa (Pasal 45 s.d 48).
Bab XI Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Pasal 49 s.d 58).
Bab XII Penyidikan (Pasal 59).
Bab XIII Sanksi (Pasal 60 s.d 63).
Bab XIV Ketentuan peralihan (Pasal 64).
Bab XV Ketentuan penutup (Pasal 65)
UU
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau
jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau
penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Tetapi, walaupun Negara kita sudah memiliki
undang-undang tersebut. Tetap saja, masih banyak sebagian dari pelaku, tetap
tidak menghiraukan undang-undang tersebut. Contohnya saja dari hal kecil yang
sering kita alami berikut ini. Ini sering saya alami dalam kehidupan
sehari-hari. Karena setiap hari saya menggunakan kendaraan umum baik angkutan
umum maupun bis. Saya sering sekali mendapati pelanggaran hak konsumen dimana
kenyamanan konsumen tidak dijaga dengan baik seperti kondisi angkut dan bis yang
seharusnya sudah diperbarui. Setiap saya menaiki salah satu bis sering sekali
saya temukan bis yang sudah tidak layak pakai tetapi masih sering digunakan
dijalan. Kondisi jendela sudah hampir copot, bangku yang sudah tidak
nyaman lagi untuk di duduki dan cara mengemudi supir bis atau angkutan tersebut
yang sering ugal-ugalan ketika dijalan. Terkadang pengemudi dan kondekturnya
tetap memaksakan penumpang yang ingin masuk walaupun keadaan bis tersebut sudah
sangat berdesakan sekali. Hal-hal tersebut sebenernya membuat konsumen risih
mau berontak tapi bingung memberontak kesiapa, tidak ada kenyamanan lagi untuk
para konsumen dalam hal jasa tersebut. Hanya beberapa bis dan angkot saja yang
mengikuti peraturan dengan benar. Mungkin dari 10 bis yang diteliti hanya 1 bis
saja yang nyaman. Upaya pemerintah sudah cukup baik dalam menerapkan pengendara
angkutan umum harus mempunyai kartu indetitas yang resmi dan harus menggunakan
seragam ketika mengemudi. Tetapi hal itu masih kurang efektif karena saya masih
menemukan sopir yang melanggar aturan tersebut.
Itulah sebabnya perlu
adanya ketegasan untuk pelaksanaan undang-undang perlindungan konsumen yang
sudah di sepakati bersama. Mungkin dari diri kita masing-masing, perlu adanya
perubahan pola pikiran bahwa “peraturan di buat, untuk dilanggar.” Alangkah
baiknya, kita bekerja sama untuk menuntaskan setiap masalah-masalah yang dapat
merugikan diri kita sebagai konsumen. Karena yang membuat bangsa kita lebih
maju, bukan hanya dari pihak pemerintahnya saja, tetapi kita juga yang harus
mendukung. Karenanegara ini, bukan hanya milik satu atau beberapa orang saja,
tetapi Negara ini milik bersama. Jadi kita pun patut untuk menjaga, melindungi
dan meningkatkan kualitas Negara ini.
0 komentar:
Posting Komentar