BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 22 Januari 2014

BPHTB Kel 1



BPHTB
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

A.    Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan / BPHTB

BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang perseorangan pribadi atau badan. Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.

DPP / Dasar pengenaan Pajak BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Bajak atau disingkat menjadi NPOP. NPOP dapat berbentuk harga transaksi dan nilai pasar. Jika nilai NPOP tidak diketahui atau lebih kecil dari NJOP PBB, maka NJOP PBB dapat dipakai sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB.
BPHTB yaitu merupakan pajak yang harus dibayar akibat perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.

B. Saat Pembayaran BPHTB

BPHTB harus dibayar apabila melakukan salah satu hal berikut di bawah ini :
a. Akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan ditandatangani oleh PPAT atau Notaris.
b. Risalah lelang untuk pembelian telah ditandatangani oleh Kepala Kantor Lelang atau Pejabat Lelang yang berwenang.
c. Dilakukannya pendaftaran hak oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kotamadya dalam hal pemberian hak baru atau pemindahan hak karena pelaksanaan putusan hakim dan hibah wasiat.

Intinya adalah terjadi pemindahan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, hadiah, warisan / waris dan pemberian hak baru karena adanya kelanjutan pelepasan hak dan di luar pelepasan hak. Sedangkan bentuk pengalihan yang tidak kena BPHTB adalah seperti pengalihan atau perubahan hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama, wakaf atau digunakan untuk kepentingan ibadah.

C. Menentukan Besarnya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan / BPHTB

a. Tarif BPHTB adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak.
b. Nilai perolehan objek pajak atau NPOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) yang sewaktu-waktu besarnya dapat dirubah oleh peraturan pemerintah. Sedangkan khusus untuk perolehan karena hak waris dalam satu dahar, sedarah atau keturunan garis lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan pemberian hibah termasuk istri atau suami NJOPTKP atau Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah sebesar Rp. 300.000.000.
c. Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah nilai perolehan objek pajak (NPOP) dikurangi dengan nilai perolehan onjek pajak tidak kena pajak.
d. Besar pajak terutang BPHTB adalah didapat dengan cara mengalikan tarif pajak dengan nilai perolehan onjek pajak kena pajak (NPOPKP).

D. Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan / BPHTB

Wajib pajak membayar pajak BPHTB yang terutang tidak didasarkan pada surat ketetapan pajak atau SKP, melainkan dengan cara menghitung dan membayar sendiri pajak terutang dengan mengisi Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan atau disingkat SSB.
Pajak yang terutang dapat dibayar di Bank pemerintah, Bank DKI dan juga Kantor Pos di wilayah Kotamadya yang meliputi letak tanah dan atau bangunan dengan SSB. Tempat terutang pajak adalah di wilayah kabupaten, kota atau propinsi yang meliputi letak tanah dan bangunan.
SSB dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan / KP PBB / KPBB yang adal di wilayah DKI Jakarta, PPAT, Notaris, Kantor Lelang dan Kantor Pertanahan serta Kantor Bank Pemerintah, Bank DKI dan Kantor Pos. Pembayaran BPHTB dapat dilakukan tanpa menunggu diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak / SKP.

SKP atau Surat Ketetapan Pajak adalah dokumen yang menjelaskan jumlah pajak yang kurang atau lebih bayar yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak setelah adanya pemeriksaan. SKP BPHTB disingkat menjadi SKB (Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan). SKB dapat dikeluarkan dalam jangka lima tahun semenjak saat terutang BPHTB. SKB dapat berupa SKBKB untuk yang kurang bayar, SKBLB untuk yang lebih bayar dan SKBN untuk yang nihil atau nol bayar.

E. Sanksi Tidak Membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan / BPHTB

Apabila WP diketahui kurang bayar BPHTB maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB (SKBKB) beserta denda sebesar 2% perbulan untuk jangka waktu maksimal 24 bulan dihitung mulai saat terhutang pajak sampai diterbitkan SKBKB. Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB kurang Bayar (SKBKBT) jika ditemukan data baru atau data yang sebelumnya tidak terungkap yang mengakibatkan menambahnya jumlah pajak terutang setelah SKBKB terbit, maka dapat dikenakan denda sanksi administrasi sebesar 100% dari kekurangan pajak tersebut kecuali WP melaporkan sendiri sebelum adanya tindakan pemeriksaan.
Dasar Hukum
  1. UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
  2. KMK Nomor : 630/KMK.04/1997 Tentang Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
3.      IV. SUBYEK PAJAK
4.      Subyek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Objek Pajak
( Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. Pemindahan Hak karena :
  1. Jual beli
  2. Tukar Menukar
  3. Hibah
  4. Hibah Wasiat, adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
  5. Waris
  6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, adalah pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.
  7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.penunjukan pembeli dalam lelang;
  8. Penunjukan pembeli dalam lelang, adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
  9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
  10. Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.
  11. Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.
  12. Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
  13. Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
b. Pemberian hak baru karena :
  1. Kelanjutan pelepasan hak; Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
  2. Diluar pelepasan hak. Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak Atas Tanah
( Pasal 2 ayat (3) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang dimaksud hak atas tanah adalah :
  1. Hak milik, adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
  2. Hak guna usaha, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku.
  3. Hak guna bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang  Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
  4. Hak pakai, adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang  dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  5. Hak milik atas satuan rumah, adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
  6. Hak pengelolaan, adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

Pengecualian Obyek Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
Obyek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh :
    1. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
    2. negara untuk menyelenggarakan pemerintah dan/atau untuk pelaksanaan pembanugnan guna kepentingan umum;
    3. badan atau perwakilan lebaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
    4. orang pribadi atau badan karena koversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan adanya perubahan nama;
    5. orang pribadi atau badan karena wakaf; dan
    6. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah;

Tarif Pajak
( Pasal 5 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
 Tarif pajak yang dikenakan atas objek BPHTB  adalah sebesar 5 % (lima persen).

Dasar Pengenaan
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi Dasar Pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu dalam hal :
  1. jual beli adalah harga transaksi;
  2. tukar-menukar adalah nilai pasar;
  3. hibah adalah nilai pasar;
  4. hibah wasiat adalah nilai pasar;
  5. waris adalah nilai pasar;
  6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
  7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
  8. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
  9. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
  10. pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
  11. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
  12. peleburan usaha adalah nilai pasar;
  13. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
  14. hadiah adalah nilai pasar;
  15. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang.
Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sampai dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.

Nilai Pasar
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
 Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.

Nilai Perolehan Objek Pajak Yang Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo. KMK-516/KMK.04/2000
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional adalah penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk masing-masing Kabupaten/Kota.

Tata Cara untuk menentukan besarnya NPOPTKP
( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo. KMK-516/KMK.04/2000
 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Tata Cara untuk menentukan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah sebagai berikut :
  1. Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak ditetapkan untuk setiap Kabupaten/Kota.
  2. Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak untuk setiap Kabupaten/Kota dapat diusulkan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahun pajak dimulai.
  3. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dengan memperhatikan usulan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam point 2.
  4. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak mengajukan usulan sebagaimana dimaksud dalam point 2, besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan, menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara regional dengan ketentuan:  
  1. untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);       
  2. untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Bersubsidi, dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp 49.000.000,00 (empat puluh sembilan juta rupiah);       
  3. untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);       
  4. untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah);       
  5. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada huruf d;       
  6. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada huruf d."    

Penghitungan Pajak
( Pasal 8 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )

Secara umum besarnya BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)          
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)                       

Besarnya BPHTB terutang = 5 % X NPOPKP
   XXXXX     
 XXXXX -
XXXXX     
     
 XXXXX    

Contoh perhitungan PBHTB karena warisan bisa dilihat sebagai berikut:
Seorang ayah meninggal memiliki sebidang tanah kosong di Jakarta Selatan, kemudian akan dilakukan balik nama ke atas nama para ahli waris atau anak-anak dan istrinya. Karena proses balik nama tersebut para ahli waris diwajibkan membayar BPHTB.
Data-data tanah objek warisan sebagai berikut:
  • Luas 1.000 m2
  • NJOP = 1.000.000,- per meter
  • NPOP = 1.000 x Rp. 1.000.000,- = Rp. 1.000.000.000,- sama dengan NJOP total
  • NJOPTKP waris adalah Rp. 350.000.000,- (DKI Jakarta)
Besarnya BPHTB adalah sebagai berikut:
  • BPHTB = 5 % x (NPOP – NPOPTKP)
  • BPHTB = 5 % x (Rp. 1.000.000.000 – Rp. 350.000.000) = Rp. 32.500.000,-

Rabu, 15 Januari 2014

OPINI PELANGGARAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN ETIKA


kode etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma hukum.

Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.
Setiap profesi pasti memiliki kriteria kode etiknya sendiri dan banyak yang mengalami kasus pelanggaran hukum kode etik pada setiap profesi. Dalam tahun 2013 khususnya di bidang ekonomi, banyak kasus pelanggaran hukum kode etik yang banyak diperbincangkan, seperti kasus pelanggaran hukum kode etika di bidang kepolisian, maupun di bidang pemerintahan.
Pada saat ini banyak sekali pelanggaran-pelanggaran hukum baik ringan ataupun berat yang dilakukan oleh masyarakat. Hal paling ringan bisa seperti membuang sampah sembarangan hingga yang paling berat seperti kasus pembunuhan ataupun korupsi. Para pelanggar hukum disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor-faktor di dalam diri pelaku para pelanggar hukum seperti sifat, etika serta psikologis dalam diri. Sedangkan, faktor eksternal merupakan faktor-fakor diluar diri pelaku seperti faktor lingkungan yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindak pelanggaran hukum.
Pelanggaran hukum bisa disebabkan oleh pelanggaran etika. Menurut Drs. O.P. Simorangkir etika merupakan pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. Menurut Drs. Sidi Gajalba etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal. Berdasarkan definisi tersebut bisa dikatakan jika etika merupakan pandangan tingkah laku manusia dalam berprilaku berdasarkan ukuran yang baik dan buruk yang ditentukan oleh akala manusia.
Setiap profesi memiliki etika profesi yang harus dijalankan. Etika tersebut harus dijalankan secara sungguh-sungguh untuk dapat mencapai tujuan sesuai dengan visi, misi, tugas dan fungsi dari suatu profesi. Sebagai contoh dapat diambil dari kasus-kasus saat ini seperti bagaimana seorang yang menjabat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi dapat menerima suap dari berbagai pejabat daerah. Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi berkedudukan sebagai salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Bagi penulis pelanggaran hukum sangat berkaitan dan bahkan diawali oleh pelanggaran etika. Karena etika merupakan pandangan manusia yang sangat mendasar. Dalam berperilaku sesuai dengan ukuran-ukuran serta nilai-nilai tertentu. Ketika etika seseorang dalam bermasyarakat itu buruk, maka akan mendatangkan tindakan-tindakan buruk lainnya seperti pelanggaran hukum ataupun yang lainnya. Setiap yang kita lakukan pasti memiliki etika masing masing yang harus disadari. Karena disaat kita beretika kurang baik, itu akan mempengaruhi citra kita dan orang disekeliling kita.


Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kode_etik_profesi
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Fathanah
http://www.solopos.com/2013/11/04/kasus-suap-impor-daging-ahmad-fathanah-divonis-14-tahun-penjara-462548